Wednesday, 21 November 2012

Kegagalan Mengurai Akar Masalah Industri Migas

Oleh: Benny Lubiantara*



Kalau kita cermati Industri migas mancanegara, tata kelola sektor migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu: kebijakan (policy), regulasi (regulatory) dan komersial (commercial). Perbedaannya hanya pada bagaimana negara tersebut memisahkan atau tidak memisahkan fungsi tersebut. Ada negara yang secara tegas memisahkan tiga fungsi tersebut, seperti: Norwegia, Brazil, Aljazair, Meksiko dan Nigeria. Ada negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut, dalam arti fungsi regulasi dirangkap dengan fungsi komersial, atau fungsi regulasi jadi satu dengan fungsi kebijakan. Arab Saudi, Malaysia, Angola, Russia, dan Venezuela termasuk negara yang tidak memisahkan fungsi tersebut.

Terlepas apakah tiga fungsi tersebut secara tegas dipisahkan atau tidak, fungsi komersial dilakukan oleh Perusahaan migas milik negara (NOC). Untuk negara maju, seperti UK, USA, Australia dan lain lain, karena NOC sudah tidak ada lagi (sudah diprivatisasi), maka fungsi komersial dilakukan oleh pihak swasta (perusahaan minyak internasional (IOC)).

Dalam hal ini jelas bahwa fungsi komersial, artinya keterlibatan langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas hanya bisa dilakukan oleh perusahaan (NOC) dan atau bersama sama dengan IOC.

Di Indonesia, Fungsi komersial, dalam konteks keterlibatan langsung pemerintah dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas jelas hanya bisa dilakukan oleh Pertamina. Timbulnya permasalahan migas di tanah air ini, menurut pendapat penulis lebih disebabkan oleh fakta bahwa Pertamina sebagai NOC sejauh ini memiliki kontribusi produksi terhadap produksi nasional yang relatif kecil dibandingkan NOC lain. Detail angka perbandingan bisa dilihat pada tulisan saya yang lain: “Kisruh Migas dan Keberpihakan Pemerintah” (http://id.scribd.com/doc/113669595/Kisruh-Migas-dan-Keberpihakan-Pemerintah).

Kecilnya bagian Pertamina kemudian memberikan kesan bahwa NOC kita inferior di negara sendiri, dalam bahasa pengamat “ kedaulatan migas jatuh ke tangan asing. Kenapa hal ini terjadi, bisa jadi selama beberapa dekade industri migas, Pemerintah keasyikan sebagai juragan, yang hanya menerima “bagi hasil“ dari IOC tanpa mau terlibat langsung dalam arti ikut berinvestasi besar besaran di sektor migas melalui NOC (Pertamina).

Ikut berinvestasi di sektor hulu migas ini yang dilakukan di semua negara produsen di dunia, sehingga bagian produksi NOC mereka menjadi sangat besar. Kata kunci disini adalah investasi atau terlibat langsung, bukan dengan mengutak atik pilihan untuk memisahkan atau menggabungkan fungsi tersebut. Sejak UU 8/1971, Pertamina pernah merangkap peran komersial dan regulasi, kenyataan menunjukkan bagian produksinya sangat kecil terhadap produksi nasional. Kenapa? karena pemerintah kelihatannya tidak berniat untuk ”investasi langsung” (uang hasil penerimaan migas tidak diinvestasikan kembali, atau sangat tidak proporsional ke sektor hulu migas).
Sejak UU Migas 22/2001 sebenarnya ada peningkatan bagian Pertamina terhadap total produksi migas nasional, namun masih belum cukup besar.

Sejarah menunjukkan, Pertamina sudah pernah memainkan kedua peran tsb (yang sering disebut wasit merangkap pemain melalui UU8/1971) dan peran pemisahan (UU 22/2001). Sekarang kita akan membuat UU baru (merevisi UU lama?), percayalah permasalahan akan terulang kalau hanya bertujuan supaya NOC berkontrak langsung dengan IOC tanpa ada niat Pemerintah untuk meningkatkan investasi (memberi duit untuk investasi lebih banyak ke sektor hulu Pertamina). Kalau selama ini, investasi hulu migas ini dilakukan, paling tidak sejak UU 2001, kesan awam “dijajah asing” tidak akan terjadi.

Terkait ribut ribut apakah kontrak Business to Business (B2B) atau Business to Government (B2G). Pada dasarnya dua hal tersebut bisa saja dilakukan, di PSC India dan Oman yang berkontrak Pemerintah (Kementerian) dengan perusahaan migas internasional (B2G), di Malaysia yang berkontrak Petronas dan IOC (B2B), di Brazil yang berkontrak Pemerintah (diwakili ANP yang berada dibawah Kementrian) dengan perusahaan migas (B2G), dan lain lain. Apakah betul negara tersebut merasa posisinya jatuh karena berkontrak langsung dengan Perusahaan asing? Apakah betul IOC tidak mau berkontrak dengan Badan pemerintah yang tidak punya aset? Apakah kalau B2B menjamin bahwa Pemerintah steril dari tuntutan investor asing?.

Investor asing itu tidak bodoh, mereka punya proteksi berlapis, tidak hanya melalui dokumen kontrak (concession agremeent maupun production sharing agreement). Katakanlah kontraknya B2B, ketika ada sengketa diantara pihak yang berkontrak, investor masih bisa mengajukan Pemerintah yang bersangkutan ke arbitrase melalui jalur lain, dalam ini Bilateral Investment Treaty (BIT). Hal ini terjadi dalam kasus ExxonMobil vs PDVSA (NOC nya Venezuela), mereka berdua yang berkontrak (B2B), ketika terjadi sengketa, oleh ExxonMobil, Pemerintah Venezuela pun diseret ke arbitrase internasional, melalui mekanisme BT tersebut.

Mari kita kawal agar UU Migas baru ini merupakan bagian dari solusi terhadap akar permasalahan (bukan produk trial & error), dan bukan pula hanya mendengarkan opini segelintir pengamat yang senang membungkusnya dengan embel embel “kemakmuran rakyat”.

*) Alumni Teknik Perminyakan ITB, Ketua Group ATM (IA-TM-ITB), Analis Kebijakan Fiskal Migas, OPEC di Wina

No comments:

Post a Comment